Kabarreskrim.net // Jakarta
Melalui Surat Presiden tanggal 13 februari 2025 Nomor R-13/Pres/02/2025, Presiden telah menugaskan Menteri Hukum, Menteri Keuangan dan Menteri Sekretaris Negara, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri mewakili Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Politisi Partai Demokrat, Didik Mukrianto mengingatkan bahwa dalam pembahasannya harus mempertimbangkan beberapa hal yang fundamental, diantaranya pada era modern seperti sekarang ini dan dengan adanya pemisahan TNI dan Polri, serta Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000, harus terus diperkuat adanya konsepsi kepolisian sipil, termasuk juga governance dan akuntabilitas penugasan anggota Polri di luar Kepolisian.
“Polisi berwatak sipil berkonsekuensi kepada penyelenggaraan perpolisian yang berpihak kepada masyarakat dengan doktrin utama memerangi kejahatan, memelihara ketertiban masyarakat, serta melindungi warga yang mempunyai konsekuensi bahwa masyarakat menjadi pusat atau titik awal sekaligus titik akhir dari totalitas pengabdiannya,” terang Didik Mukrianto, Kamis (13/3/2023)
Didik juga memastikan Polisi berwatak sipil juga mengharuskan bahwa dalam menjalankan pekerjaannya tidak boleh menyebabkan manusia kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Harus menghindari cara-cara gampang, seperti pemaksaan dan kekerasan, tetapi harus dengan cara-cara yang sesuai dengan harapan masyarakatnya.
“Polisi sipil harus memiliki kultur yang berwatak sipil, yang dalam implementasinya harus transparan, akuntabel, demokratis, menjunjung tinggi HAM, memiliki komitmen untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, dan humanis dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehari-hari. Kultur polisi sipil akan terbentuk apabila nilai-nilai yang ada dalam etika polisi sipil dapat dijadikan komitmen, diinternalisasikan, dan diaktualisasikan secara nyata dalam perilaku tugas sehari-hari,” lanjutnya.
Lebih lanjut Didik mengharapkan, agar RUU Perubahan UU Kepolisian kali ini jangan sampai ada perluasan kewenangan secara excessive yang bisa berpotensi tidak sejalan dengan semangat reformasi, pemisahan TNI-Polri, dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000.
“Tentu menjadi harapan kita semua perubahan UU Kepolisian yang baru nantinya, dapat memastikan kepolisian tidak menjadi institusi yang superbody. Termasuk seputar penugasan personil Polri aktif diluar Kepolisian harus dipastikan sudah sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku,” ucap Didik.
Selain itu, Didik juga menyoroti beberapa hal, diantaranya masih perlunya penguatan mekanisme pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (oversight mechanism) dalam ikhwal penegakan hukum, keamanan negara maupun pelayanan masyarakat.
“Berbagai catatan masyarakat sipil dan sejumlah lembaga yang telah memotret bagaimana institusi Polri masih belum terbebas dari tindakan kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hingga praktik-praktik korupsi, harus menjadi perhatian dan pertimbangan dalam pembahasan RUU,” jelas Didik.
“Selain itu, berbagai bentuk potensi pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing, harus menjadi perhatian,” tambahnya.
Jika perubahan UU Polri nantinya akan menambah daftar kewenangan, pastikan jelas dan terukur baik peruntukan dan kemanfaatannya. Jangan sampai menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antara kementerian/lembaga negara. Dan perlu juga penguatan terkait mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya harap Didik.
“Pastikan posisi, penguatan dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik jangan sampai menjadi benteng impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. Karena absennya kontrol, pengawasan, dan/atau penindakan efektif tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap polisi pelanggar sehingga berpotensi menimbulkan impunitas Kepolisian,” pungkas Didik. (Enismiyana)