Kabareskrim.net // Bitung
Pasar Ramadhan yang rutin digelar setiap tahun di Kota Bitung kembali diselenggarakan, namun kali ini muncul polemik terkait pihak penyelenggara dan biaya yang dibebankan kepada pedagang. Jika sebelumnya pengelolaan berada di bawah PERUMDA Pasar Kota Bitung, tahun ini Asosiasi Pedagang Pasar Kota Bitung (APPSI) mengambil alih sebagai pelaksana, menimbulkan protes dari pedagang.
Banyak pedagang mempertanyakan dasar hukum dan proses yang memungkinkan APPSI menjadi penyelenggara pasar Ramadhan, mengingat PERUMDA Pasar adalah perusahaan resmi milik pemerintah yang sebelumnya selalu mengelola kegiatan ini. Lurah Bitung Timur, Dinas Perhubungan, Kesbangpol, dan Intekam Polres Bitung disebut-sebut tidak memberikan izin kepada PERUMDA Pasar dengan alasan bahwa APPSI sudah lebih dahulu memperoleh rekomendasi.
Polemik semakin tajam ketika APPSI menetapkan biaya sewa tempat bagi pedagang senggol sebesar Rp 3.500.000 per bulan dan Rp 500.000 per bulan, ditambah retribusi harian Rp 15.000 per pedagang. Biaya yang dinilai sangat tinggi ini menimbulkan keresahan, mengingat pasar Ramadhan seharusnya menjadi sarana peningkatan ekonomi bagi masyarakat kecil, bukan justru membebani mereka.
“Biasanya kalau PERUMDA yang kelola, biaya lebih terjangkau dan jelas peruntukannya. Sekarang dengan APPSI, kami harus bayar mahal, tapi kami tidak tahu uangnya untuk apa dan siapa yang bertanggung jawab,” ujar Ibu Erni sebagai salah satu pedagang.
Pedagang mendesak transparansi mengenai aliran dana dari biaya yang ditetapkan oleh APPSI. Mereka juga meminta pemerintah turun tangan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan pasar Ramadhan tetap berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil, bukan sekadar ajang mencari keuntungan oleh pihak tertentu.
Secara hukum, pengelolaan pasar di daerah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Bitung tentang Pengelolaan Pasar dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Berdasarkan aturan ini, penyelenggaraan pasar tradisional biasanya berada di bawah kewenangan pemerintah daerah atau badan usaha milik daerah (BUMD) seperti PERUMDA Pasar.
Keputusan memberikan izin kepada APPSI tanpa mempertimbangkan peran PERUMDA Pasar menimbulkan tanda tanya besar. Apakah APPSI memiliki kapasitas dan kewenangan yang sah dalam mengelola pasar Ramadhan? Mengapa PERUMDA Pasar yang selama ini menjadi penyelenggara tidak mendapatkan izin?
Para pedagang menuntut jawaban dari pihak terkait, terutama pemerintah kota dan instansi yang memberikan rekomendasi kepada APPSI. Jika ada ketidaksesuaian prosedur atau pelanggaran aturan dalam pemberian izin, pedagang mendesak agar pelaksanaan pasar Ramadhan dikembalikan kepada PERUMDA Pasar demi keadilan bagi para pelaku usaha kecil.
Pemerintah Kota Bitung perlu segera memberikan klarifikasi dan memastikan bahwa pengelolaan pasar Ramadhan berjalan sesuai regulasi yang ada. Jika ditemukan adanya penyimpangan dalam proses perizinan, maka harus ada tindakan tegas untuk mengembalikan hak pengelolaan kepada pihak yang berwenang.
Pasar Ramadhan sejatinya bukan sekadar tempat berdagang, tetapi juga bagian dari tradisi keagamaan dan sosial yang harus tetap berpihak pada masyarakat. Jika pengelolaannya justru merugikan pedagang kecil, maka tujuan utama dari pasar ini telah melenceng.
Para pedagang kini menunggu jawaban dan langkah nyata dari pemerintah. Jika tidak ada tindakan yang adil, maka bukan tidak mungkin protes dan ketidakpuasan akan terus meluas. (Rino)