Kabarreskrim.net || Sumatera Utara
Tangis pilu memecah kesunyian di Kota Padangsidimpuan. Dua karyawan PT. Muncul Anugerah Sakti, Distributor Jamu dan Farmasi yakni pria berkeluarga berinisial RP (40) dan APH (30) mengalami penahanan selama hampir dua bulan di kantor perusahaan. Bukan hanya ditahan, mereka juga kehilangan harta benda dan hak politiknya.
Sejak 1 November 2024, kedua karyawan ini ditahan di kantor perusahaan berkedudukan di Jl. ST. SP Mulia Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kota Padangsidimpuan, Provinsi Sumatera Utara. Mereka diduga dituduh menggelapkan uang perusahaan. Selama penahanan, barang-barang pribadi mereka disita, dan akses komunikasi dengan keluarga dibatasi. Puncaknya, mereka kehilangan hak untuk menyalurkan hak pilihnya dalam Pilkada 2024.
“Bayangkan, mereka tidak hanya kehilangan kebebasan, tapi juga hak dasar sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam demokrasi,” ujar Bobby Batari Harahap, SH, kuasa hukum kedua karyawan tersebut dari Kantor Hukum Bobby Batari Harahap, SH & Rekan kepada Wartawan.
“Ini jelas pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan Undang-Undang Ketenagakerjaan.” Pungkasnya.
Menurut Bobby, penahanan yang dilakukan perusahaan tanpa proses hukum yang jelas merupakan tindakan sewenang-wenang. Ia menduga ada pelanggaran terhadap beberapa regulasi, termasuk UU Ketenagakerjaan dan KUHP. Pihaknya akan mengambil langkah hukum untuk memperjuangkan hak-hak kliennya.
Sementara itu, Operational Manager PT. Muncul Anugerah Sakti, Prenza Welmi saat diwawancara dirungan kantornya, Sabtu 21 Desember 2024, mengatakan penahanan dilakukan untuk mencegah kedua karyawan kabur dan bertanggung jawab atas dugaan penggelapan.
Ia membenarkan penyitaan barang-barang pribadi dan pembatasan komunikasi. Welmi menyatakan perusahaan memberikan makan tiga kali sehari dan mengizinkan keluarga menjenguk.
Dalam wawancara dengan RP salah satu karyawan yang ditahan mengungkapkan sangat tertekan dan merasa tidak berdaya.
” Selama dua bulan, kami tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga. Kami merasa seolah-olah tidak memiliki hak atas hidup kami sendiri.” ujar RP kepada Wartawan.
Ia juga berharap ada keadilan dan ingin menyelesaikan masalah ini secara baik-baik, tetapi sepertinya perusahaan lebih memilih untuk melakukan penahanan.
Kisah pilu RP dan APH ini menjadi sorotan dan menimbulkan pertanyaan besar tentang penegakan hukum dan perlindungan hak-hak karyawan di Indonesia.
(Adi MH)